Kiai adalah pemimpin tertinggi di sebuah pondok pesantren, sosoknya yang kharismatik dan pengetahuan agama yang luas membuat kiai sangat disegani dan dihormati. Hal tersebut tidak cukup sampai disini, kepercayaan masyarakat yang begitu tinggi sehingga santri yang nyantri di pondok pesantren yang dipimpinnya pun banyak.
Akan tetapi jika kiai kharismtik tersebut telah tiada, apa yang akan terjadi? kenyataanya, kepercayaan terhadap pond-pest tersebut turun sehingga santrinya pun sedikit demi sedikit berkurang. Masyarakat yang dulunya mengelu-elukan, berangsur-angsur meninggalkan. Kebebasan yang dialami santri karena kurang control dan kedisiplinan. Fenomena ini terjadi pula di pondok An-Nidlomiyah Sepanjang Sidoarjo.
Ketika KH. Badrus Soleh Syakur yakni pengasuh pondok An-Nidhomiyah Sepanjang Sidoarjo masih hidup, dengan kharismanya dan pengetahuan agama yang luas banyak masyarakat yang menimba ilmu di pondoknya, kerukunan keluarga pengasuh terjaga, keutuhan santri putra dan putri terjamin, santri yang bermukim di pondok tersebut baik putra maupun putri sangat banyak, serta santri yang penuh dengan kedisiplinan karena control yang diterapkannya sangat tinggi.
Masalah kemudian muncul ketika KH. Badrus Sholeh Syakur yang sering dipanggil dengan sebutan gus Badrus, menghadap sang Ilahi. Semuanya baik keluarga pengasuh (ndalem), santri dan masyarakat luas yang mengenalnya merasa kehilangan. Pondok kehilangan seorang panutan dan pemimpin yang sangat disegani, dihormati dan di sanjung.
Muncul pertanyaan siapa yang akan memimpin pondok selanjutnya ? konflik antar keluarga pun terjadi, semuanya merasa berhak menjadi pemimpin, padahal di luar sana banyak yang mendambakan sosok pemimpin yang sesuai dengan harapan masyarakat setidaknya sama dengan pemimpin sebelumnya.
Akhirnya, bagaimanapun juga, menetapkan seorang pemimpin pondok sebagai panutan harus dilakukan, yaitu sesuai dengan tradisi yang sering dilakukan di pondok-pondok salaf yakni aturan pemilihan turun temurun. Setelah beberapa bulan memimpin pondok, kenyataannya pemimpin tersebut tidak sesuai dengan harapan masyarakat, harapan para santri baik putra maupun putri dan para pengasuh lainnya.
Hal ini bisa di lihat dari banyaknya masyarakat yang tidak lagi memondokkan anaknya di pondok tersebut, padahal ketika Gus Badrus masih hidup pondok tersebut sangat diminati oleh masyarakat baik di Sidoarjo-Surabaya bahkan daerah lain dimana di lokasi tersebut ada juga pondok-pondok lain, akan tetapi kepercayaan masyarakat terhadap pondok tersebut lebih tinggi.
Masalah yang miuncul kemudian adalah dari santri sendiri, dengan tidak adanya menejemen organisasi yang tepat, control terahadap santri berkurang, santri terlalu bebas, dan kedisiplinan berkurang, pergaulan pun tidak ada batas–batas tertentu. Tidak ada perbedaan antara santri dengan bukan santri.
Karena memang pondok An-Nidhomiyah berlokasi di tengah perkotaan, dimana hiruk pikuk perkotaan yang sarat dengan glamouritas tidak bisa dibendung dengan mudah tanpa ada filter dari pondok yang kuat serta banyak santri mempunyai aktifitas di luar pondok misalnya sekolahnya tidak satu lokasi dengan pondok.
Dari masalah yang muncul tersebut diatas, kelihatan bahwa menejemen organisasi pondok yang diterapkan masih kurang sesuai dengan situasi, kondisi, dan karakter santri zaman modern seperti sekarang ini. Sehingga tidak dapat menyelesaikan masalah-masalah yang timbul sehingga esensi dan eksistensi pondok terganggu.
B. Analisa Masalah
Model kepemimpinan kharismatik seperti yang terdapat pada kasus di PP. An-Nidholiyah Ngelom Sepanjang Sidoarjo tersebut memang sangat dominan di lingkungan pesantren, realita itulah yang terjadi di lingkungan pondok pesantren terutama pondok pesantren salaf.
Di era modern seperti saat ini, hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, karena dengan perubahan zaman, tradisi tersebut tidak efektif lagi, yang pada akhirnya akan tergerus oleh arus modernitas. Hal ini perlu direkonstruksi secara kreatif berdasarkan nilai-nilai modernitas dan nilai Islam itu sendiri, menejemen kharismatik itu tidak perlu dieliminasi tapi disandingkan dengan pola rasional dan dibingkai dengan nilai-nilai moralitas agama.
Melalui strategi tersebut keerkaitan dua unsur itu akan melahirkan suatu menejemen yang modern tanpa harus kehilangan roh nya yang bersifat moral. kepemimpinan kharismatik dapat dikatakan bernuansa moral karena charisma tersebut pada umumnya bermuara pada otoritas keulamaan dalam masalah kedalaman ilmu, ketinggian pribadi, pengelolaan yang hati-hati dalam hubungan-hubungan personal dengan anggota masyarakat muslim, serta pembinaan reputasi individual. (Hal ini menunjukan bahwa charisma ulama berdasar pada keteladanan moralitas yang mereka miliki).[1]
Dalam ungkapan lain, pada satu sisi, moralitas diharapkan tetap memiliki ruang cukup luas sebagai bingkai keseluruhan proses penanganan dan pengelolaan pendidikan pesantren, pada sisi lain, unsure-unsur menejemen dikembangkan secara intens tanpa harus terperangkap pada pola-pola mekanistik yang sangat kaku.
Seperti yang terjadi kasus di atas, jika pola menejemen pondok di atur sedemikian rupa, yaitu dengan mengembangkan menejemen yang tepat sesuai situasi kondisi zaman saat ini tanpa harus menghilangkan roh pesantren (gaya kepemimpinan yang kharismatik dan pemilihan pengasuh yang turun-temurun), masalah-masalah seperti halnya hilangnya kepercayaan masyatakat terhadap pondok karena pengasuh baru yang tidak sesuai dengan masyarakat, serta hilangnya control dan kedisiplinan para santri dapat diminimalisir.
C. Solusi Masalah
Di era modern seperti saat ini, pengaruh modernitas telah memasuki berbagai macam ruang, tak terkecuali pondok pesantren, apalagi lokasi pondok yang terdapat di pertengahan kota yang tidak bisa terlepas dari hiruk pikuk suasana yang penuh dengan glamouritas.
Pondok An-Nidhomiyah yang berlokasi di perbatasan kota Sidoarjo – Surabaya, serta santri yang banyak mempunyai aktifitas di luar pondok, tak bisa dipungkiri arus modernitas dan glamouritas perkotaan sangat gampang masuk ke dunia pesantren sehingga perlu sebuah siasat yang relevan sepanjang zaman tanpa mngeliminasi tradisi lama dan berusaha menerima dan menfilter hal terbaru tanpa curiga meski tak mengurangi daya kritisnya.
Modernitas sendiri tidak hanya memberi pengaruh negative terhadap pondok, akan tetapi juga banyak memberi pengaruh positif, antara lain pernah dikemukakan oleh para teoritisi sosiologi :
- Weber[2], kehidupan modern yang paling menentukan adalah perkembangan rasionalitas formal dan mengakibatkan munculnya kerangkeng besi rasionalitas akibatnya manusia semakin tak mampu mengungkapkan cirri kemanusiaan yang paling mendasar disamping itu, weber juga menghargai keuntungan dari kemajuan rasionalisasi missal birokrasi yang kuat dari pada bentuk organisasi sebelumnya
- Durkheim[3], modernitas ditentukan oleh solidaritas organic yang menghasilkan kebebasan yang lebih besar dan pelemahan kesadarn kolektif yang mengakibatkan melemahkan moralitas bersama[4]
- Giddens[5], salah satu cirri modernitas adalah pemisahan waktu dan ruang. Dalam masyarakat pra modern waktu selalu dikaitkan dengan ruang. Ruang ditentukan oleh kehadiran secara fisik dan karena itu ditentukan oleh ruang yang dilokalisir, dengan datangnya modernitas, ruang makin lama makin dilepaskan oleh waktu. Berhubungan dengan orang yang berjauhan jarak fisik makin lama makin besar peluang.[6]
Melihat dari beberapa pendapat para tokoh sosiologi tersebut di atas, bahwa modernitas menyatakan sedemikian rupa pengaruhnya terhadap lingkungan pesantren, jika pesantren masih tetap mempertahankan tradisi-tradisi lama yang tidak relevan lagi dan tidak menyerap hal-hal baru yang dapat mendukung keberadaan pondok, secara otomatis pondok akan berangsur-angsur tergerus oleh arus modernitas.
Seperti halnya pondok yang mengikuti gaya kepemimpinan yang terpusat pada kiai serta gaya pemilihan pemimpin secara turun-temurun yang telah mentradisi di lingkungan pesantren, (dimana telah disinggung oleh berbagai referensi dan realita), di era modernitas seperti saat ini, tidak salah juga hal itu masih tetap dilakukan, akan tetapi dengan menggunakan birokrasi yang rasional sesuai dengan teori modernitas nya weber, yakni dengan system menejemen yang terstruktur dimana kepemimpinan tertinggi adalah kiai, namun tetap menghiraukan menejemen organisasi yang tepat
Jika birokrasi pondok terstruktur dengan baik, ketika kiai tiada pondok tersebut tidak akan kehilangan esensinya sebagai pondok, dan kepercayaan masyarakat pun akan tetap utuh, serta santrinyapun akan tetap terus bertambah dengan output yang tetap berkualitas.
Modernitas juga membawa pengaruh terhadap kebebasan santri. Pondok tidak dapat mengekang begitu saja santri, saat ini santri sudah sangat kritis, apalagi mereka tidak hanya dibekali ilmu dari dalam pondok saja, mereka juga punya pengalaman diluar pondok dimana sekolah mereka tidak terikat oleh pondok. Sesuai dengan teori modernitas yang dikemukakan oleh Durkheim, yang dengan kebebasannya, moral santri akan hilang, serta teori yang dikemukakan Giddens bahwa modernitas tidak mengenal waktu dan ruang.
Melihat kenyataan bahwa modernitas membawa pengaruh terhadap kebebasan santri. Jika pondok masih menggunakan gaya kepemimpinan berpusat pada pengasuh saja, tanpa menejemen yang baik, ketika kiai yang dielu-elukan dan dihormati bahkan ditakutkan oleh kebanyakan para santri tiada, bukan tidak mungkin kebebasan santri tiada batas bahkan bisa jadi kebebasan yang sebebas-bebasnya.
Kebebasan santri tanpa control yang benar akan mengakibatkan kerugian bagi diri santri dan juga pondok pesantren, santri bisa melakukan percakapan tanpa batas ruang dan waktu, sekarang banyak hp dan internet, mereka bisa melakukan hal-hal yang tidak patut dilakukan olehnya dan lain sebagainya. Jika ini dibiarkan dan tidak diarahkan pada arah yang sesuai, maka ini akan merusak pada diri santri sendiri dan juga pondok pesantren, padahal sebenarnya jika modernitas dimanfaatkan sebaik-baiknya, hal ini akan sangat mendukung wawasan santri sendiri yang akan berpengaruh terhadap lingkungan pondok saat ini bahkan untuk kehidupan selanjutnya.
Dengan menejemen pondok yang terorganisir baik, control dan kedisiplinan yang tepat, serta arahan terhadap gaya hidup modern yang islami Kebebasan santri tetap pada batas-batas tertentu. Walaupun lokasi terdapat di perkotaan dengan aktifitas para santri yang banyak diluar. Nilai-nilai modernias tetap diterapkan, akan tetapi tanpa menghilangkan roh dari pondok pesantren itu sendiri.
[1] Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia…., hal. 166
[2] Max Weber, Toritisi sosiologi klasik, lahir di Jerman (1864 – 1920)
[3] Emile Durkheim, Toritisi sosiologi klasik, lahir di Epinal Perancis (1858 – 1917)
[4] George Ritzer – Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Kencana, Jakarta, 2004, hal. 550
[5] Antony Giddens,sosiolog kontemporer, lahir di Inggris, (1938 - …….)
[6] George….-Dougles…, Teori….,hal. 556
0 komentar:
Post a Comment