Ada dua konsepsi tradisional tentang belajar bahasa kedua yang relevan dengan pembahasan ciri-ciri siswa.
- anak-anak adalah siswa bahasa kedua yang lebih baik daripada orang dewasa.
- ada hal yang disebut ‘kepandaian’ khusus atau ‘bakat’ untuk belajar bahasa kedua, dimana tidak semua orang mempunyai tingkat yang sama, istilah umumnya “aptitude”. Hamied (1987:81).
Dengan adanya dua konsepsi ini maka diasumsikan berdasarkan pengalaman perorangan bahwa perbedaan dalam keberhasilan belajar bahasa kedua sebagian besarnya dapat dijelaskan dengan dasar perbedaan dalam usia dan bakat.
Pada tahun 1950-an tatkala penelitian ilmiah mengenai ciri-ciri siswa dalam belajar bahasa kedua dimulai, segera menjadi jelas bahwa seperangkat ciri-ciri siswa merupakan penyebab keberhasilan atau kegagalan relatif dari belajar bahasa kedua. (Hamied, 1987:81). Kita akan membatasi pembicaraan pada pertimbangan lain yang telah diselidiki dengan lebih baik dan yang paling relevan. Pembahasan kita hanya membicarakan pertimbangan neurologikal, kognitif, dan afektif. (Brown, 2000:71).
Pertimbangan Neurologi
Penfield dan Roberts (1959) ahli neurologi yang berargumentasi bahwa kemempuan anak lebih besar untuk belajar bahasa dapat dijelaskan dengan plastisitas yang lebih besar dari otak anak tersebut. Plastisitas otak ditemukan berkurang manakala usia bertambah. (Hamied:82). Menurut Panfield dan Roberts (1959) menampilkan bukti bahwa anak-anak mempunyai kapasitas menonjol untuk mempelajari kembali ketrampilan bahasa setelah kecelakaan atau penyakit yang merusak bidang ujaran dalam hemisfer serebral dominan biasanya hemisfer sebelah kiri.
Orang dewasa biasanya tidak mampu memperoleh kembali ujaran normal. Terdapat banyak kasus nank-anak yang karena memperoleh luka dalam bidang ujaran, mengalihkan fungsi bahasanya ke hemisfer sebelahnya lagi. Kasus orang dewasa yang melakukan hal itu jarang terjadi. Diargumentasikan bahwa alasan untuk hal tersebut adalah hilangnya plastisitas otak.
Dalam kesimpulannya, Penfield dan Roberts menarik rekomendasi untuk pengajaran bahasa asing dari observasi ini, yaitu bahwa waktu untuk memulai apa yang mungkin disebut persekolahan umur dalam bahasa kedua, sesuai dengan tuntutan psikologi otak, adalah antara umur 4 sampai 10 tahun.
Penfield dan Roberts (1959) ahli neurologi yang berargumentasi bahwa kemempuan anak lebih besar untuk belajar bahasa dapat dijelaskan dengan plastisitas yang lebih besar dari otak anak tersebut. Plastisitas otak ditemukan berkurang manakala usia bertambah. (Hamied:82). Menurut Panfield dan Roberts (1959) menampilkan bukti bahwa anak-anak mempunyai kapasitas menonjol untuk mempelajari kembali ketrampilan bahasa setelah kecelakaan atau penyakit yang merusak bidang ujaran dalam hemisfer serebral dominan biasanya hemisfer sebelah kiri.
Orang dewasa biasanya tidak mampu memperoleh kembali ujaran normal. Terdapat banyak kasus nank-anak yang karena memperoleh luka dalam bidang ujaran, mengalihkan fungsi bahasanya ke hemisfer sebelahnya lagi. Kasus orang dewasa yang melakukan hal itu jarang terjadi. Diargumentasikan bahwa alasan untuk hal tersebut adalah hilangnya plastisitas otak.
Dalam kesimpulannya, Penfield dan Roberts menarik rekomendasi untuk pengajaran bahasa asing dari observasi ini, yaitu bahwa waktu untuk memulai apa yang mungkin disebut persekolahan umur dalam bahasa kedua, sesuai dengan tuntutan psikologi otak, adalah antara umur 4 sampai 10 tahun.
Akan tetapi Hipotesis Periode Kritis (HPK) biasanya dikaitkan dengan Lennberg (1967). Lennberg berargumentasi bahwa belajar alamiah dapat terjadi hanya selama periode kritis, secara kasarnya antara usia 2 tahun sampai masa pubertas. Sebelum usia 2 tahun, belajar bahasa tidak mungkin terjadi karena kekurang dewasaan otak. Sedangkan setelah masa pubertas lateralisasi fungsi hemisfer dominan telah selesai, yang mengakibatkan hilangnya plastisitas serebral yang diperlukan untuk belajar bahasa alamiah. Adalah periode yang secara biologis tertentu inilah yang bertanggungjawab atas kenyataan bahwa setelah masa pubertas, bahasa harus diajarkan dan dipelajari melalui usaha sadar dan keras, dan bahwa aksen asing tidak dapat diatasi dengan mudah setelah masa pubertas.
Pertimbangan Afektif
Manusia adalah ciptaan yang memiliki emosi. Penelitian pada area afetif pada pemerolehan bahasa kedua semakin meningkat terus-menerus selama beberapa dekade. Penelitian ini terinspirasi oleh beberapa faktor. Berikut ini adalah beberapa faktor yang mempengaruhi umur dan pemerolehan bahasa. (Brown, 2000:64-66)
Manusia adalah ciptaan yang memiliki emosi. Penelitian pada area afetif pada pemerolehan bahasa kedua semakin meningkat terus-menerus selama beberapa dekade. Penelitian ini terinspirasi oleh beberapa faktor. Berikut ini adalah beberapa faktor yang mempengaruhi umur dan pemerolehan bahasa. (Brown, 2000:64-66)
Inhibitasi (Inhibitions)
Inibitasi adalah suatu perasaan yang membuat seseorang gugup atau malu, sehingga tidak mempu bertingkah laku secara normal. Perasaan ini muncul ketika seseorang berada pada masa remaja yakni antara umur 13 sampai 17 tahun. Pada masa ini berkembang rasa kegelisahan yang membuat mereka merasa membutuhkan perlindungan, meluapnya rasa takut, mider dan keraguan terhadap diri mereka sendiri. Pada masa ini inhibitasi semakin meningkat karena trauma atas perubahan fisik, kognitif, dan emosi. Para remaja pasti membutuhkan pembaruan total dari segi fisik, kognitif, dan emosi. Ego mereka tidak hanya dipengaruhi oleh bagaimana mereka memahami diri mereka sendiri tetapi juga bagaimana mereka meraih hal-hal yang ada diluar diri mereka, bagaimana mereka berhubungan dengan orang lain, dan bagaimana mereka menggunakan proses komunikasi yang berakibat pada perkembangan afektif.
Inibitasi adalah suatu perasaan yang membuat seseorang gugup atau malu, sehingga tidak mempu bertingkah laku secara normal. Perasaan ini muncul ketika seseorang berada pada masa remaja yakni antara umur 13 sampai 17 tahun. Pada masa ini berkembang rasa kegelisahan yang membuat mereka merasa membutuhkan perlindungan, meluapnya rasa takut, mider dan keraguan terhadap diri mereka sendiri. Pada masa ini inhibitasi semakin meningkat karena trauma atas perubahan fisik, kognitif, dan emosi. Para remaja pasti membutuhkan pembaruan total dari segi fisik, kognitif, dan emosi. Ego mereka tidak hanya dipengaruhi oleh bagaimana mereka memahami diri mereka sendiri tetapi juga bagaimana mereka meraih hal-hal yang ada diluar diri mereka, bagaimana mereka berhubungan dengan orang lain, dan bagaimana mereka menggunakan proses komunikasi yang berakibat pada perkembangan afektif.
Ego Bahasa
Alexander Guiora (1972) mengusulkan tentang ego bahasa (Language Ego) untuk menjelaskan identitas seseorang yang mengembangkan bahasa yang digunakan. Untuk orang-orang yang memiliki satu bahasa, ego bahasa meliputi interaksi pada bahasa ibu dan perkembangan ego. Guiora menyatakan bahwa ego bahasa dapat menjelaskan kesulitan pembelajaran bahasa kedua pada orang dewasa. Pemerolehan sebuah ego bahasa baru adalah sebuah usaha yang besar tidak hanya bagi remaja tapi juga orang dewasa yang telah tumbuh rasa aman dan nyaman pada identitas mereka dan yang memiliki inhibitasi yang bertindak sebagai perlindungan dan perlindungan bagi ego mereka. Membuat langkah pada sebuah identitas baru bukanlah hal yang mudah, hal ini bisa berhasil hanya ketika sebuah pengumpulan ego yang memperkuat untuk mengatasi inhibitasi. Hal ini memungkinkan bahwa seorang pembelajar bahasa yang berhasil adalah seseorang yang mampu menjembatani celah-celah afektif.
Alexander Guiora (1972) mengusulkan tentang ego bahasa (Language Ego) untuk menjelaskan identitas seseorang yang mengembangkan bahasa yang digunakan. Untuk orang-orang yang memiliki satu bahasa, ego bahasa meliputi interaksi pada bahasa ibu dan perkembangan ego. Guiora menyatakan bahwa ego bahasa dapat menjelaskan kesulitan pembelajaran bahasa kedua pada orang dewasa. Pemerolehan sebuah ego bahasa baru adalah sebuah usaha yang besar tidak hanya bagi remaja tapi juga orang dewasa yang telah tumbuh rasa aman dan nyaman pada identitas mereka dan yang memiliki inhibitasi yang bertindak sebagai perlindungan dan perlindungan bagi ego mereka. Membuat langkah pada sebuah identitas baru bukanlah hal yang mudah, hal ini bisa berhasil hanya ketika sebuah pengumpulan ego yang memperkuat untuk mengatasi inhibitasi. Hal ini memungkinkan bahwa seorang pembelajar bahasa yang berhasil adalah seseorang yang mampu menjembatani celah-celah afektif.
Sikap (Attitudes)
Sikap negatif dapat mempengaruhi keberhasilan dalam mempelajari bahasa. Anak-anak yang kognitifnya tidak dibangun atau dikembangkan dengan baik untuk memiliki sikap, mungkin tidak seberapa berpengaruh daripada orang dewasa. Pada anak-anak usia sekolah mulai memperoleh beberapa sikap terhadap jenis-jenis dan stereotipe orang lain. Sikap ini sebagian besar diajarkan secara sadar atau tidak sadar oleh orang tua, orang-orang dewasa, dan teman sepermainannya. Pembelajaran sikap-sikap negatif terhadap orang-orang yang memakai bahasa kedua atau terhadap bahasa kedua itu sendiri telah ditunjukkan untuk mempengaruhi keberhasilan pembelajaran bahasa pada orang-orang di usia sekolah keatas.
Sikap negatif dapat mempengaruhi keberhasilan dalam mempelajari bahasa. Anak-anak yang kognitifnya tidak dibangun atau dikembangkan dengan baik untuk memiliki sikap, mungkin tidak seberapa berpengaruh daripada orang dewasa. Pada anak-anak usia sekolah mulai memperoleh beberapa sikap terhadap jenis-jenis dan stereotipe orang lain. Sikap ini sebagian besar diajarkan secara sadar atau tidak sadar oleh orang tua, orang-orang dewasa, dan teman sepermainannya. Pembelajaran sikap-sikap negatif terhadap orang-orang yang memakai bahasa kedua atau terhadap bahasa kedua itu sendiri telah ditunjukkan untuk mempengaruhi keberhasilan pembelajaran bahasa pada orang-orang di usia sekolah keatas.
Tekanan dari kawan sebaya (Peer Pressure)
Tekanan dari kawan sebaya yang dihadapi anak-anak dalam pembelajaran bahasa, berbeda dengan yang dihadapi oleh orang dewasa. Anak-anak biasanya mempunyai paksaan yang kuat untuk menyesuaikan. Mereka diberitahu dalam kata-kata, pemikiran-pemikiran, dan tindakan-tindakan bahwa mereka seharusnya ”seperti anak-anak yang lainnya”. Seperti tekanan dari kawan sebaya terhadap bahasa. Orang dewasa juga mengalami tekanan dari kawan sebaya, namun dalam bentuk yang berbeda, orang-orang dewasa cenderung lebih menoleransi perbedaan linguistik daripada anak-anak, oleh karena itu kesalahan-kesalahan dalam ucapan lebih mudah dimaafkan. Jika orang-orang dewasa mampu memahami seorang penutur bahasa kedua, mereka akan memberikan imbalan balik kognitif dan afektif dengan positif, sebuah tingkatan toleransi yang mungkin mendorong beberapa pembelajar dewasa untuk ”lulus.”
Tekanan dari kawan sebaya yang dihadapi anak-anak dalam pembelajaran bahasa, berbeda dengan yang dihadapi oleh orang dewasa. Anak-anak biasanya mempunyai paksaan yang kuat untuk menyesuaikan. Mereka diberitahu dalam kata-kata, pemikiran-pemikiran, dan tindakan-tindakan bahwa mereka seharusnya ”seperti anak-anak yang lainnya”. Seperti tekanan dari kawan sebaya terhadap bahasa. Orang dewasa juga mengalami tekanan dari kawan sebaya, namun dalam bentuk yang berbeda, orang-orang dewasa cenderung lebih menoleransi perbedaan linguistik daripada anak-anak, oleh karena itu kesalahan-kesalahan dalam ucapan lebih mudah dimaafkan. Jika orang-orang dewasa mampu memahami seorang penutur bahasa kedua, mereka akan memberikan imbalan balik kognitif dan afektif dengan positif, sebuah tingkatan toleransi yang mungkin mendorong beberapa pembelajar dewasa untuk ”lulus.”
DAFTAR PUSTAKA
Bolinger, Dwight And Donald. A.Sears. 1981. Aspect of Language, New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc.
Brown, H. Douglas. 2000. Principles of Language Learning and Teaching. Fourth Edition. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Hamid, Fuad Abdul. 1987. Proses Belajar Mengajar Bahasa. Jakarta: PPLPTK Depdikbud.
Titone, Renzo and Marcel Daanest. 1985. Applied Psicholinguistic: An Introduction to Psychology of Language Learning and Teaching. Toronto: University of Toronto Press.
Brown, H. Douglas. 2000. Principles of Language Learning and Teaching. Fourth Edition. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Hamid, Fuad Abdul. 1987. Proses Belajar Mengajar Bahasa. Jakarta: PPLPTK Depdikbud.
Titone, Renzo and Marcel Daanest. 1985. Applied Psicholinguistic: An Introduction to Psychology of Language Learning and Teaching. Toronto: University of Toronto Press.
0 komentar:
Post a Comment